MENCIPTAKAN HARMONI DENGAN AIR

15 11 2008

Mari kita menundukkan kepala, merenungi bencana longsor yang telah menimpa saudara kita di Kecamatan Campaka Cianjur. Musim penghujan sudah mulai menelan korban. Bahkan di beberapa daerah khususnya Ibu Kota banjir sudah menjadi biasa, pun tanah longsor, dll. Di luar kejadian-kejadian alami tadi kita kembali diingatkan betapa lingkungan kita sudah tidak bisa lagi menerima kedatangan intervensi dari luar yakni musim baik itu penghujan maupun kemarau. Kekeringan saaat musim kemarau, longsor dan banjir ketika musim penghujan menjadi alat buktinya. Kerugian materi dan nyawa manusia sudah menjadi konsekwensi abadi.

Kita diingatkan kembali dengan hasil kajian tentang krisis air dunia pada World Water Forum tahun 2003, banyak negara akan mengalami krisis air pada tahun 2025 termasuk Indonesia. Jumlah penduduk bertambah, kebutuhan airpun akan bertambah pula. Di lain pihak unsur lingkungan hidup pengendali air (hutan) semakin berkurang dan rusak. Selain itu masalah air semakin besar karena adanya kelemahan dalam manajemen air, antara lain kelembagaan, peraturan perundangan, budaya boros air, pencemaran air, dan lain-lainnya. Muncul tiga masalah klasik tentang air: ”too much” menjadi bencana banjir, ”to little” menjadi bencana kekeringan, ”to dirty” menjadi bencana penyakit.

Hal di atas menajadi keyakinan bhawa hubungan air dengan manusia selama ini tidak saling menguntungkan. Air oleh manusia hanya dijadikan alat hanya untuk memenuhi kebutuhannya misalkan mandi, mencuci, dan minum belumk terpikirkan untuk menjaga keseimbangnnya. Saat musim penghujan seperti sekarang ini bagaimana caranya air yang melimpah agar tidak menjadi bencana banjir ataupun tanah longsor. Pun sebaliknya saat musim kering bagaimana caranya ketersedian air mencukupi.

Ada memang pihak-pihak yang suduh bergerak dalam upaya membangun hubungan yang harmonis dengan air. Tapi itu tidak sebanding dengan prilaku kita yang banyak merugikan keberadaan air. Penanaman pohon tidak sebanding dengan pengrusakannya. Mengkonsumsi air tidak sebanding dengan upaya penyimpanannya. Artinya prilaku kita banyak merugikan Air dibandingkan dengan yang menguntungkan. Padahal yang patut kita sadari adalah air dan kita memilki hubungan yang erat.

***

Mari Menabung Air

Perlu kita ingat bahwa setiap peminum air, seyogianya juga pencinta pohon. Mengapa? Sebab pohon adalah tangki air yang paling alami. Coba hitung, berapa kandungan air dalam satu pohon? Paling sedikit 10 persen dari berat pohon hidup adalah air. Bahkan di dalam pohon pisang, lebih dari separuhnya adalah air. Jadi untuk pohon besar dengan berat 6 ton, air yang dikandung di dalamnya ada 600 liter! Dengan demikian jelaslah bahwa setiap pohon menyimpan cadangan air. Lebih dari itu, akarnya menahan air di dalam tanah, dan daunnya menahan air serta embun di udara. Pendeknya, memelihara pohon berarti menjaga ketersediaan air.

Ada yang menabung untuk dapat hadiah mobil. Ada juga yang terdorong iming-iming tamasya ke luar negeri, atau rumah yang disponsori oleh perusahaan properti. Padahal, banyak tabungan lain yang mampu menjamin hari esok lebih nyata. Termasuk yang paling konkret adalah tabungan air. Air hujan yang berlimpah-ruah pada pergantian tahun, dibiarkan hilang begitu saja. Akibatnya, berkah kehidupan menghilang di depan mata, digantikan oleh ketidak-pastian yang mencekam. Krisis pangan dan krisis masa depan, sepertinya sudah mulai.

Tentu bukan untuk ditakuti, tetapi justru untuk diwaspadai, diatasi. Manusia sudah terbiasa menjadi kreatif pada saat menghadapi kesulitan yang diakibatkan oleh perilakunya sendiri. Berbagai upaya menyelamatkan air dan lingkungan dikampanyekan setiap hari. Ada upaya penanggulangan sampah, penanaman pohon, dan penghematan energi. Tujuannya apa? Untuk memperpanjang umur, memperindah kehidupan di bumi.

Tabungan air adalah pembuatan biopori, sumur resapan, penanaman pohon, dan efisiensi penggunaan air bersih. Biopori yang dirasakan asing 10 tahun silam, kini mulai mendapat penggemar. Dengan bor besi sederhana. Bor sepanjang satu meter, dengan garis tengah 10 dan 15 cm dapat menyelamatkan air sampai 10 liter di tiap lubang.

Selanjutnya ialah sumur resapan yakni (infiltration well) sumur atau lubang pada permukaan tanah yang dibuat untuk menampung air hujan/aliran permukaan agar dapat meresap ke dalam tanah. Ha ini dilakukan untuk menjaga ketersedian air dam dalam kerangka konservasi air. Mengingat pentingnnya tabungan air, maka sudah menjadi kewajiban manusia untuk berinvestasi. (Berbagai sumber)





Refleksi Atas Refleksi Akhir Tahun

26 12 2007

Tahun 2007 hanya tinggal menghitung hari saja segera akan kita lewati, tahun barupun sudah dipenghujung mata. Disepanjang tahun beragam aktifitas telah dilalui. Biasanya dalam kontek makro (negara) dibulan terakhir sebuah tahun media dan beberapa kalangan sering mengadakan refleksi akhir tahun. Catatan-catatan penting yang dilewati diungkap kedepan public. Refleksi adalah sebuah renungan untuk mengevaluasi dari kegiatan lampau. Layaknya sebuah evaluasi kelemahan dan kelebihan sering dituangkan. Konon hasil dari evaluasi sering dijadikan acuan untuk menghadapi tahun berikutnya.

Rutinatas sebuah refleksi akhir tahun bak ritual yang bersifat Formalistik. Jangan-jangan refleksi yang sering kita adakan tidak memiliki dampak yang signifikan bagi perubahan yang diharapkan. Atau sebuah perayaaan yang kering dari sebuah nilai. Mungkin ini merupakan dampak dari dunia rasionalistik-materialistik. Teringat pada seorang Filosof asal Francis Henri Bergson yang berusaha meng-counter pandangan ini salah satu pandangnya ialah pengalaman Fenomenal dan Eksistensial. Pengalaman Fenomenal adalah hasil konkret dari pengalaman indrawi yang diolah oleh akal manusia. Akal manusia sering memilah-milah (atau meruang-ruangkan) objek yang ditelitinya. Dan ini berlaku baik bagi ruang maupun waktu.

Ruang yang pada dasarnya satu (bumi) dipecah menjadi satuan satuan yang sama. Kilo meter, yard, inchi dll. Karena akal memahami bahwa satu kilometer persegi di Indonesia sama baik ukuran maupun kualitasnya dengan satu kilometer persegi di Amerika. Hasilnya adalah kesulitan akal untuk memamahami ada orang yang membedakan tempat-tempat yang suci dan yang profan karena menurutnya sejengkal tanah di Cianjur tidak akan ada bedanya dengan sejengkal tanah di Yerusalam atau Mekkah.

Yang menarik ialah tentang kecenderungan akal yang juga memilah dimensi waktu kedalam satuan-satuan ; milinium, abad, dasawarsa, tahun, bulan, minggu hari, waktu dan lain sebagainya. Pengalaman Fenomenal berangkat dari analisa akal. Hal itu berbeda dengan pengalaman Eksistensial yang masih menurut Bergson pengalaman ini didasari oleh nilai emosi, mental, spiritual manusia. Pengalaman eksistensial tentang ruang dan waktu, tentunya bukanlah pengalaman sebagaimana dikonsepsikan oleh akal, melainkan pengalaman yang kita rasakan dan alami.

Dalam kontek keseharian kita seringkali merasakan adanya kontradiksi antara apa yang dirasakan dan apa yang dirasionalkan. misalnya berbincang dengan seorang pacar akan terasa lebih lama dibandingkan dengan berbincang dengan seorang professor meskipun waktunya sama satu jam. Kembali lagi tentang refleksi akhir tahun apakah sebuiah refleksi itu didasari pada penglaman Fenomenal atau Eksistensial. Pengalaman Fenomenal yang hanya bertumpu pada akal. Setahun berlalu yang sepertinya hampa dengan nilai emosi dan spiritual. Jika sebuah refleksi hanya bertumpu pada pengalaman Fenomenal kepincangan menjadi dampak laten. Biasanya refleksi acapkali digunakan untuk membangun orientasi visional tahun berikutnya. Maka jangan heran jika rutinitas formalistik refleksi akhir tahun tidak akan membawa dampak